Jumat, 20 Mei 2016

makalah perkembangan Peserta Didik Masa Prenatal dan Balita

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Didalam perkembangan peserta didik terdapat materi periode pranatal, Periode prenatal atau masa sebelum lahir adalah periode awal perkembangan manusia yang dimulai sejak konsepsi, yakni ketika ovum dibuahi oleh sperma laki-laki sampai dengan waktu kelahiran seorang individu. Masa ini umumnya berlangsung selama 9 bulan kalender atau sekitar 280 hari sebelum lahir. Dilihat dari segi waktunya, periode prenatal ini merupakan periode perkembangan manusia yang paling singkat, tetapi justru pada periode inilah dipandang terjadi perkembangan yang sangat cepat dalam diri individu. Meskipun periode prenatal merupakan periode di mana perkembngan dan pertumbuhan terjadi lebih banyak dan lebih cepat, namun periode ini juga mengandung banyak bahaya, baik fisik maupun psikologis yang sangat mempengaruhi pola perkembangan selanjutnya, bahkan dapat mengakhiri suatu perkembangan. Setiap manusia, sebagai individu yang normal, akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Proses perkembangan kehidupan manusia melalui beberapa tahapan. Umunya, manusia akan selalu berubah mengikuti proses perkembangan di sekitar kehidupannya, dimulai sejak masa prenatal, masa bayi, lalu tumbuh menjadi seorang remaja, dewasa, dan kemudian meninggal. Papalia, Olds, dan Feldman (1998; 2004) membagi perkembangan manusia menjadi Sembilan tahap, yakni: masa prenatal, bayi dibawah tiga tahun (toddler), anak-anak awal (early childhood), anak-anak tengah (middle childhood), anak-anak akhir (late childhood), remaja (adolescence), dewasa muda (young adulthood), dewasa tengah (middle adulthood), dan dewasa akhir (late adulthood). Masa prenatal ditandai dengan pembentukan sistem jaringan dan struktur organ-organ fisik. Proses pertumbuhan dan perkembangannya dimulai sejak terjadinya konsepsi, yakni pertemuan antara spermatozoa dengan sel telur yang akan menjadi calon manusia dan berkahir pada saat bayi dilahirkan. Masa ini berlangsung antara 180 sampai 344 hari lamanya. Masa prenatal merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan awal dalam kehidupan manusia. Para ahli menyebutnya sebagai masa perubahan evolusi janin dalam kandungan. Kondisi janin dalam kandunga sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan hidupnya, yakni seberapa jauh ibunya memiliki taraf kesehatan, kebiasaan, dan perilaku yang baik atau tidak. Hal ini penting untuk diperhatikan, karena akan berpengaruh pada perkembangan janin dan berpengaruh pula pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu kita perlu mengetahui bagaimana perkembangan peserta didik pada masa prenatal. 1   BAB II PEMBAHASAN Pengertian perkembangan Peserta Didik Masa Prenatal dan Balita Prenatal adalah masa sebelum kelahiran. Masa Prenatal dimulai pada saat terjadinya proses konsepsi, yakni pertemuan antara sperma dan ovum hingga berakhir pada saat bayi dilahirkan. Masa ini berlangsung antara 180 sampai 344 hari lamanya. Adapun tahapan pada masa prenatal ini dibagi menjadi 3 tahapan yatu : 1. Tahap Germinal/praembrionik (awal kehidupan) Merupakan masa awal kehidupan manusia. Proses ini dimulai ketika terjadi proses pembuahan. 2. Tahap embrio Tahap ini dimulai ketika zigot telah tertanam dengan baik didalam dinding rahim. Dalam tahap insistem dan organ dalam otak mulai terbentuk dari susunan sel. Masa ini dianggap sebagai masa yang kritis karena bentuk fisik yang saat itu berkembang pesat dapat terganggu oleh kondisi yang kurang baik. 3. Tahap Janin Pada masa ini memiliki pertumbuhan yang sangat pesat. Embrio yang berkembang menjadi janin sudah memiliki organ-organ internal (jantung, paru-paru, usus besar dsb) dan eksternal (tangan, jari-jari, kepala dsb) secara lengkap. Janin makin memanjang dan sistem organ tumbuh berkembang semakin kompleks. Hal ini akan terus berlangsung hingga organism itu matang dan siap untuk dilahirkan. Pada masa prenatal, janin didalam kandungan juga membutuhkan suatu pendidikan. Pendidikan yang dimaksud berupa musik. Dalam penelitian ditemukan bahwa pada masa jabang bayi mendengarkan musik bisa memperluas volume otak besar, memajukan syaraf perasa janin, menambah kegiatan utama urat syaraf dan membantu daya berimajinasi abstrak dari pertumbuhan normal anak. Ada beberapa cara dan bahkan banyak cara yang dilakukan oleh seorang ibu untuk meningkatkan IQ sejak masih dalam kandungan diantaranya yaitu dengan menyimak gambar yang merangsang otak kanan untuk melatih otak , mengajak ngobrol janin dan juga bisa dengan kegiatan menjawab teka-teki, membaca buku dan lainnya. Selain pendidikan, janin dalam kandungan juga butuh asupan gizi yang cukup karena gizi sangat berpengaruh bagi janin agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Bukan hanya bagi janin, perlakuan-perlakuan tersebut juga berpengaruh kepada bayi yang dilahirkan bahkan sampai usia dewasa. Perlakuan yang baik akan melahirkan bayi yang memiliki kondisi tubuh yang baik, sehat, jenius,serta memiliki kemampuan yang lebih daripada yang diperlakukan kurang baik. Akan tetapi, hal itu tergantung dari orang tua si janin ketika mengandung. Karena minimnya kesadaran orang tua dan para pendidik serta lingkungan menyebabkan kurangnya perilaku untuk mengembangkan potensinya, tetapi sebaliknya mereka membuat anak-anak tidak jenius lagi bahkan anak-anak menjadi lemah atau bodoh. Sejak lahir sampai usia 2 tahun, sebagian besar pola emosional dan sudah terbentuk. Dr. Benjamin S. Bloom, processor of education, university of Chicago, melakukan penelitian mengenai perkembangan intelektual pada otak anak pada tahun 1964,hasil penelitiannya: 1. Sampai usia 4 tahun, tingkat intelektual mencapai 50% 2. Sampai usia 8 tahun mencapai 80% 3. Sampai usia 18 tahun mencapai 100% Kondisi Psikologi Ibu hamil Kehamilan, persalinan dan menjadi seorang ibu merupakan peristiwa dan pengalaman penting dalam kehidupan seorang wanita. Menurut Mochtar (1998), terdapat tiga faktor utama dalam persalinan, yaitu faktor jalan lahir (passage), faktor janin (passenger), dan faktor tenaga atau kekuatan (power). Selain itu, dalam persalinan dapat ditambahkan faktor psikis (kejiwaan) wanita menghadapi kehamilan, persalinan, dan nifas. Karena itulah seorang wanita memerlukan kematangan fisik, emosional, dan psikoseksual serta psikososial sebelum kawin dan menjadi hamil. Perasaan cemas, takut, dan nyeri akan membuat wanita tidak tenang menghadapi persalinan dan nifas Gambaran Kondisi Psikologi Ibu Bersalin Kecemasan merupakan unsur kejiwaan yang menggambarkan perasaan, keadaan emosional yang dimiliki oleh seseorang pada saat menghadapi kenyataan atau kejadian dalam hidupnya. Lefrancois (1980, dalam Kartikasari, 1995) menyatakan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan ketakutan, adanya hambatan terhadap keinginan pribadi dan perasaan – perasaan yang tertekan yang muncul dalam kesadaran. Para ahli membagi bentuk kecemasan dalam dua tingkat, yaitu : 1. Tingkat Psikologis; kecemasan yang berwujud sebagai gejala‐gejala kejiwaan, seperti tegang,bingung, khawatir, sukar konsentrasi, perasaan tidak menentu dan sebagainya. 2. Tingkat fisiologis; kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala‐gejala fisik, terutama pada sistem syaraf, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar‐debar, gemetar, perut mual, dan sebagainya. Sue, dkk (dalam Kartikasari, 1995) menyebutkan bahwa manifestasi kecemasan terwujud dalam empat hal yaitu : 1. Manifestasi kognitif Terwujud dalam pikiran seseorang, seringkali memikirkan tentang malapetaka atau kejadian buruk yang akan terjadi, 2. Perilaku motorik Kecemasan seseorang terwujud dalam gerakan tidak menentu seperti gemetar. 3. Perubahan somatic Muncul dalam keadaan mulut kering, tangan dan kaki kaku, diare, sering kencing, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan lain‐lain. Hampir semua penderita kecemasan menunjukkan peningkatan detak jantung, peningkatan respirasi, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan lain‐lain. 4. Afektif Diwujudkan dalam perasaan gelisah, perasaan tegang yang berlebihan. Wanita hamil yang siap secara fisik dan mental akan menjalani proses kehamilan hingga proses persalinan dengan lancar. Permasalahannya tidak semua wanita siap secara fisik dan mental. Adapun penyebab kedua, ada teman atau kerabat calon ibu saat proses kelahiran mengalami kenyataan yang tidak diinginkan,seperti sang ibu atau bayi yang dikandung meninggal. Keadaan ini tentu saja bisa memengaruhi psikologis calon ibu dan mulai berpikiran tentang proses melahirkan yang menakutkan. Menjelang persalinan, banyak hal mengkhawatirkan muncul dalam pikiran ibu. Takut bayi cacat, takut harus operasi, takut persalinannya lama, dan sebagainya. Terlebih bila sebelumnya ada teman atau kerabat yang menceritakan pengalaman bersalin mereka, lengkap dengan komentar yang menyeramkan. Alhasil, bukannya tenang, ibu yang hendak melahirkan jadi tambah cemas. Puncak kekhawatiran muncul bersamaan dengan dimulainya tanda-tanda akan melahirkan. Kontraksi yang lama-kelamaan meningkat menambah beban ibu, sehingga kekhawatiran pun bertambah. Pada kondisi inilah perasaan khawatir, bila tidak ditangani dengan baik, bisa merusak konsentrasi ibu sehingga persalinan yang diperkirakan lancar, berantakan akibat ibu panik. Kekhawatiran yang teramat sangat pun bisa membuat otot-otot, termasuk otot di jalan lahir, bekerja berlawanan arah, karena dilawan oleh ibu yang kesakitan. Akibatnya, jalan lahir menyempit dan proses persalinan berjalan lebih lama dan sangat menyakitkan. Bahkan bisa sampai terhenti. Kekhawatiran-kekhawatiran ini kadang tidak berhenti begitu persalinan berakhir, melainkan berlanjut hingga setelah melahirkan. Terbukti, seringkali muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, “Gimana bayi saya, Dok? Sehat atau tidak? Apakah anggota tubuhnya lengkap?” Apalagi bila ibu mengalami perdarahan, wajar bila ada kekhawatirantersendiri, “Akankah terjadi infeksi? Berapa banyak robeknya? Dijahit berapa banyak?” Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan wujud dari kekhawatiran si ibu. Peran Pendamping Persalinan Terhadap Psikologi Ibu Bersalin Banyak penelitian yang mendukung kehadiran orang kedua saat persalinan berlangsung. Penelitian oleh Hodnett, 1994 ; Simpkin, 1992 ; Hofmeyr, Nikodem & Wolmann, 1991; Hemminki, Virta & Koponen, 1990 yang dikutip dari Depkes tahun 2001 menunjukkan bahwa ibu merasakan kehadiran orang kedua sebagai pendamping dalam persalinan akan memberikan kenyamanan pada saat persalinan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kehadiran seorang pendamping pada saat persalinan dapat menimbulkan efek positif terhadap hasil persalinan, dapat menurunkan rasa sakit, persalinan berlangsung lebih singkat dan menurunkan persalinan dengan operasi termasuk bedah caesar (Astuti, 2006). Penelitian lain tentang pendamping atau kehadiran orang kedua dalam proses persalinan, yaitu oleh Dr. Roberto Sosa (2001) yang dikutip dari Musbikin dalam bukunya yang berjudul Panduan Bagi Ibu Hamil dan Melahirkan menemukan bahwa para ibu yang didampingi seorang sahabat atau keluarga dekat (khususnya suami) selama proses persalinan berlangsung, memiliki resiko lebih kecil mengalami komplikasi yang memerlukan tindakan medis daripada mereka yang tanpa pendampingan. Ibu-Ibu dengan pendamping dalam menjalani persalinan, berlangsung lebih cepat dan lebih mudah. Dalam penelitian tersebut, ditemukan pula bahwa kehadiran suami atau kerabat dekat akan membawa ketenangan dan menjauhkan sang ibu dari stress dan kecemasan yang dapat mempersulit proses kelahiran dan persalinan, kehadiran suami akan membawa pengaruh positif secara psikologis,dan fisologis ibu. Secara psikologis, Istri membutuhkan dampingan suami selama proses persalinan. Proses persalinan merupakan masa yang paling berat bagi ibu, dimana ibu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama suami agar dapat menjalani proses persalinan sampai melahirkan dengan aman dan nyaman. Perhatian yang didapat seorang ibu pada masa persalinan akan terus dikenang oleh ibu terutama bagi mereka yang pertama kali melahirkan dan dapat menjadi modal lancarnya persalinan serta membuat ibu menjadi merasa aman dan tidak takut menghadapi persalinan. Dukungan yang terus menerus dari seorang pendamping persalinan kepada ibu selama proses persalinan dan melahirkan dapat mempermudah proses persalinan dan melahirkan, memberikan rasa nyaman, semangat, membesarkan hati ibu dan meningkatkan rasa percaya diri ibu, serta mengurangi kebutuhan tindakan medis. Dukungan suami dalam proses persalinan merupakan sumber kekuatan bagi ibu yang tidak dapat diberikan oleh tenaga kesehatan. Dukungan suami dapat berupa dorongan, motivasi terhadap istri baik secara moral maupun material serta dukungan fisik, psikologis, emosi, informasi, penilaian dan finansia. Dukungan minimal berupa sentuhan dan kata-kata pujian yang membuat nyaman serta memberi penguatan pada saat proses persalinan berlangsung hasilnya akan mengurangi durasi kelahiran. Selama persalinan teruama bagi ibu yang melahirkan sendiri tanpa pendamping, ibu cenderung merasa takut dan cemas. Menurut Klaus dan Kennel (1993), ibu bersalin yang didampingi selama persalinan memberikan banyak keuntungan, antara lain menurunkan sectio caesarea (50%), waktu persalinan lebih pendek (25%), menurunkan pemberian epidural (60%), menurunkan penggunaan oksitosin (40%), menurunkan pemberian analgesik (30%) dan menurunkan kelahiran dengan forcep (40%). Dilaporkan juga bahwa dengan kehadiran suami selama proses persalinan secara bermakna lama persalinan menjadi lebih pendek. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehadiran suami atau anggota keluarga lain yang mendampingi ibu saat bersalin banyak memberi dampak positif bagi ibu khususnya dalam mengurangi kecemasan dan ibu akan menjadi lebih nyaman sehingga mendukung kelancaran proses persalinan. Ketenangan yang seharusnya didapatkan ibu selama persalinan tidak tercapai,semua ini dapat diatasi dengan menanamkan kepercayaan pada diri ibu dan kepada petugas kesehatan baik dokter maupun bidan agar memberi perawatan selama kehamilan dan memberi perhatian kepada ibu dengan penuh kesabaran. Kehamilan, persalinan dan menjadi seorang ibu merupakan peristiwa dan pengalaman penting dalam kehidupan seorang wanita. Peristiwa-peristiwa itu mempunyai makna yang berbeda-beda bagi setiap wanita maupun keluarganya. Bagi banyak wanita, peristiwa-peristiwa itu bermakna positif dan merupakan fase transisi yang menyenangkan ke tahap baru dalam siklus kehidupannya. Namun, sebagaimana tahap transisi lain dalam fase kehidupan, peristiwa itu dapat pula menimbulkan stress, sehingga respons yang terjadi dapat berupa kebahagiaan, maupun sebaliknya, seperti krisis lain dalam kehidupan, dapat juga menyebebabkan kekecewaan Menurut Mochtar (1998), terdapat tiga faktor utama dalam persalinan, yaitu faktor jalan lahir (passage), faktor janin (passenger), dan faktor tenaga atau kekuatan (power). Selain itu, dalam persalinan dapat ditambahkan faktor psikis (kejiwaan) wanita menghadapi kehamilan, persalinan, dan nifas. Karena itulah seorang wanita memerlukan kematangan fisik, emosional, dan psikoseksual serta psikososial sebelum kawin dan menjadi hamil. Perasaan cemas, takut, dan nyeri akan membuat wanita tidak tenang menghadapi persalinan dan nifas Persalinan merupakan masa yang cukup berat bagi ibu, dimana proses melahirkan layaknya sebuah pertaruhan hidup dan mati seorang ibu, terutama pada ibu primipara, dimana mereka belum memiliki pengalaman melahirkan. Rasa cemas, panik, dan takut yang melanda ibu dengan semua ketidakpastian serta rasa sakit yang luar biasa yang dirasakan ibu dapat mengganggu proses persalinan dan mengakibatkan lamanya proses persalinan. Rasa cemas dapat timbul akibat kekhawatiran akan proses kelahiran yang aman untuk dirinya dan bayinya. Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia menempati urutan tertinggi di Asia Tenggara. Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan telah turun dari 390 per 100.000 di tahun 1994 menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup antara tahun 2002-2003, dari 5.000.000 kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan. Kematian ibu menurut World Health Organizatian (WHO) adalah kematian yang terjadi saat hamil, bersalin atau dalam 42 hari pasca persalinan dengan penyebab yang berhubungan langsung atau tidak langsung terhadap kehamilan (Dinkes, 2006). Banyak faktor penyebab tingginya AKI. Salah satunya adalah kondisi emosi ibu hamil selama kehamilan hingga kelahiran bayi. Selama kehamilan, ibu mengalami perubahan fisik dan psikis yang terjadi akibat perubahan hormon. Perubahan ini akan mempermudah janin untuk tumbuh dan berkembang sampai saat dilahirkan. Adapun pada trimester ketiga (27-40 minggu), kecemasan menjelang persalinan ibu hamil pertama akan muncul. Pertanyaan dan bayangan apakah dapat melahirkan normal, cara mengejan, apakah akan terjadi sesuatu saat melahirkan, atau apakah bayi lahir selamat, akan semakin sering muncul dalam benak ibu hamil. Pada usia kandungan tujuh bulan ke atas, tingkat kecemasan ibu hamil semakin akut dan intensif seiring dengan mendekatnya kelahiran bayi pertamanya. Di samping itu, trimester ini merupakan masa riskan terjadinya kelahiran bayi prematur sehingga menyebabkan tingginya kecemasan pada ibu hamil. Ibu hamil pertama tidak jarang memiliki pikiran yang mengganggu, sebagai pengembangan reaksi kecemasan terhadap cerita yang diperolehnya. Semua orang selalu mengatakan bahwa melahirkan itu sakit sekali. Oleh karena itu, muncul ketakutan-ketakutan pada ibu hamil pertama yang belum memiliki pengalaman bersalin. Adanya pikiran-pikiran seperti melahirkan yang akan selalu diikuti dengan nyeri kemudian akan menyebabkan peningkatan kerja sistem syaraf simpatetik. Dalam situasi ini, sistem endokrin, terdiri dari kelenjar-kelenjar, seperti adrenal, tiroid, dan pituitary (pusat pengendalian kelenjar), melepaskan pengeluaran hormon masing-masing ke aliran darah dalam rangka mempersiapkan badan pada situasi darurat. Akibatnya, system syaraf otonom mengaktifkan kelenjar adrenal yang mempengaruhi sistem pada hormon epinefrin. Hormon yang juga dikenal sebagai hormon adrenalin ini memberi tenaga pada individu serta mempersiapkan secara fisik dan psikis. Adanya peningkatan hormon adrenalin dan noradrenalin atau epinefrin dan norepinefrin menimbulkan disregulasi biokimia tubuh, sehingga muncul ketegangan fisik pada diri ibu hamil. Dampak dari proses fisiologis ini dapat timbul pada perilaku sehari-hari. Ibu hamil menjadi mudah marah atau tersinggung, gelisah, tidak mampu memusatkan perhatian, ragu-ragu, bahkan kemungkinan ingin lari dari kenyataan hidup. Pada gilirannya, kondisi ini dapat menyebabkan kecemasan dan ketegangan lebih lanjut sehingga membentuk suatu siklus umpan balik yang dapat meningkatkan intensitas emosional secara keseluruhan. Efek dari kecemasan dalam persalinan dapat mengakibatkan kadar katekolamin yang berlebihan pada Kala 1 menyebabkan turunnya aliran darah ke rahim, turunnya kontraksi rahim, turunnya aliran darah ke plasenta, turunnya oksigen yang tersedia untuk janin serta dapat meningkatkan lamanya Persalinan Kala 1. Selain itu ada faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan Kala 1 yang meliputi faktor pengetahuan yaitu hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku didasari oleh pengetahuan di mana seorang ibu mengalami kecemasan dengan tidak diketahuinya tentang persalinan dan bagaimana prosesnya. Pada primigravida tidak ada bayangan mengenai apa yang akan terjadi saat bersalin sehingga ibu merasa ketakutan karena sering mendengar cerita mengerikan tentang pengalaman saat melahirkan dan ini mempengaruhi ibu berfikiran proses persalinan yang menakutkan. Bisa ibu belum mengerti dan belum pernah mengalami persalinan, ibu akan merasa cemas dan gelisah, kalau ibu sudah punya pengetahuan mengenai hal ini, biasanya ibu akan lebih percaya diri menghadapinya. Ketenangan jiwa penting dalam menghadapi persalinan, karena itu dianjurkan bukan saja melakukan latihan-latihan fisik namun juga latihan kejiwaan untuk menghadapi persalinan. Walaupun peristiwa kehamilan dan persalinan adalah suatu hal yang fisiologis, namun banyak ibu-ibu yang tidak tenang, merasa khawatir akan hal ini. Untuk itu, penolong persalinan harus dapat menanamkan kepercayaan kepada ibu hamil dan menerangkan apa yang harus diketahuinya karena kebodohan, rasa takut, dan sebagainya dapat menyebabkan rasa sakit pada waktu persalinan dan ini akan mengganggu jalannya persalinan, ibu akan menjadi lelah dan kekuatan hilang. Untuk menghilangkan cemas harus ditanamkan kerja sama pasien-penolong (dokter, bidan) dan diberikan penerangan selagi hamil dengan tujuan menghilangkan ketidaktahuan, latihan-latihan fisik dan kejiwaan, mendidik cara-cara perawatan bayi, dan berdiskusi tentang peristiwa persalinan fisiologis. Bila persalinan dimulai, interaksi antara passanger, passage, power, dan psikis harus sinkron untuk terjadinya kelahiran pervaginam spontan. Kecemasan menjelang persalinan umum dialami oleh ibu. Meskipun persalinan adalah suatu hal yang fisiologis, namun didalam menghadapi proses persalinan dimana terjadi serangkaian perubahan fisik dan psikologis yang dimulai dari terjadinya kontraksi rahim, dilatasi jalan lahir, dan pengeluaran bayi serta plasenta yang diakhiri dengan bonding awal antara ibu dan bayi (Saifuddin, 2001). Beberapa determinan terjadinya kecemasan pada ibu bersalin, antara lain : 1. cemas sebagai akibat dari nyeri persalinan, 2. keadaan fisik ibu, 3. riwayat pemeriksaan kehamilan (riwayat ANC), 4. kurangnya pengetahuan tentang proses persalinan, 5. dukungan dari lingkungan sosial (suami/keluarga dan teman) serta latar belakang psikososial lain dari wanita yang bersangkutan, seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, sosial ekonomi (Aryasatiani, 2005). Secara epidemiologis, kecemasan dapat terjadi pada semua persalinan baik pada persalinan primigravidamaupun multigravida. Felman et al (dalam Aryasatiani, 2005) dalam penelitiannya menemukan lebih dari 12 % ibu‐ibu yang pernah melahirkan mengatakan bahwa mereka mengalami cemas pada saat melahirkan dimana pengalaman tersebut merupakan saat‐saat tidak menyenangkan dalam hidupnya. Rasa takut dan sakit menimbulkan stress yang mengakibatkan pengeluaran adrenalin. Hal ini mengakibatkan penyempitan pembuluh darah dan mengurangi aliran darah yang membawa oksigen ke rahim sehingga terjadi penurunan kontraksi rahim yang akan menyebabkan memanjangnya waktu persalinan. Hal ini kurang menguntungkan bagi ibu maupun janin yang berada dalam rahim ibu. Penelitian yang berkaitan dengan kejadian persalinan lama, 65% disebabkan karena kontraksi uterus yang tidak efisien. Menurut Old et al (2000), adanya disfungsional kontraksi uterus sebagai respon terhadap kecemasan sehingga menghambat aktifitas uterus. Respon tersebut adalah bagian dari komponen psikologis, sehingga dapat dinyatakan bahwa faktor psikologis mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan proses persalinan. Takut biasanya dialami pada hal – hal yang belum diketahui ibu sehingga ibu tidak siap untuk melahirkan atau persalinan tidak sesuai dengan jadwal, ibu akan mengalami kelelahan, tegang selama kontraksi dan nyeri yang luar biasa sehingga ibu menjadi cemas. Kecemasan juga bisa terjadi karena pengalaman buruk kerabat atau teman tentang persalinan dan kenyataan bahwa kehamilan yang beresiko juga menyebabkan ibu tidak siap menghadapi persalinan. Tenaga medis dan situasi tempat yang tidak bersahabat dapat mempengaruhi rasa nyaman ibu untuk melahirkan. Terkadang hambatan psikologis lebih besar pengaruhnya dibandingkan fisik. Sering juga terjadi baik gangguan fisik maupun psikologis berpadu menjadi lingkaran setan yang sulit diputuskan, mekanisme ini disebut incoordinate uterine action. Soewandi (1997) menyatakan bahwa pengetahuan yang rendah mengakibatkan seseorang mudah mengalami kecemasan. Ketidaktahuan tentang suatu hal dianggap sebagai tekanan yang dapat mengakibatkan krisis dan dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan dapat terjadi pada ibu dengan pengetahuan yang rendah tentang proses persalinan, hal‐hal yang akan dan harus dialami oleh ibu sebagai dampak dari kemajuan persalinan. Hal ini disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh. Menurut Pilliteri (2002) rasa takut, lelah dan kultur akan mempengaruhi respon psikologis berupa cemas yang terjadi pada wanita menjelang persalinan. Melahirkan merupakan titik puncak penantian selama sembilan bulan. Ibu telah menghabiskan waktu berbulan‐bulan dengan bertanya‐tanya dan barangkali juga dilanda kekawatiran mengenai bagaimana akan menghadapi saat‐saat proses bersalin, terkadang sulit melihat kedepan dan membayangkan terutama pada persalinan dengan anak pertama. Latar belakang psikososial seorang wanita juga berpengaruh terhadap terjadinya kecemasan pada ibu bersalin. Raystone (dalam Maria, 2005) mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang baik dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Seseorang yang mempunyai pendidikan yang tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Secara psikologis, Istri membutuhkan dampingan suami selama proses persalinan. Proses persalinan merupakan masa yang paling berat bagi ibu, dimana ibu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama suami agar dapat menjalani proses persalinan sampai melahirkan dengan aman dan nyaman. Perhatian yang didapat seorang ibu pada masa persalinan akan terus dikenang oleh ibu terutama bagi mereka yang pertama kali melahirkan dan dapat menjadi modal lancarnya persalinan serta membuat ibu menjadi merasa aman dan tidak takut menghadapi persalinan. Dukungan yang terus menerus dari seorang pendamping persalinan kepada ibu selama proses persalinan dan melahirkan dapat mempermudah proses persalinan dan melahirkan, memberikan rasa nyaman, semangat, membesarkan hati ibu dan meningkatkan rasa percaya diri ibu, serta mengurangi kebutuhan tindakan medis. Dukungan suami dalam proses persalinan merupakan sumber kekuatan bagi ibu yang tidak dapat diberikan oleh tenaga kesehatan. Dukungan suami dapat berupa dorongan, motivasi terhadap istri baik secara moral maupun material serta dukungan fisik, psikologis, emosi, informasi, penilaian dan finansia. Dukungan minimal berupa sentuhan dan kata-kata pujian yang membuat nyaman serta memberi penguatan pada saat proses persalinan berlangsung hasilnya akan mengurangi durasi kelahiran. Selama persalinan terutama bagi ibu yang melahirkan sendiri tanpa pendamping, ibu cenderung merasa takut dan cemas. Menurut Klaus dan Kennel (1993), ibu bersalin yang didampingi selama persalinan memberikan banyak keuntungan, antara lain menurunkan sectio caesarea (50%), waktu persalinan lebih pendek (25%), menurunkan pemberian epidural (60%), menurunkan penggunaan oksitosin (40%), menurunkan pemberian analgesik (30%) dan menurunkan kelahiran dengan forcep (40%). Dilaporkan juga bahwa dengan kehadiran suami selama proses persalinan secara bermakna lama persalinan menjadi lebih pendek. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehadiran suami atau anggota keluarga lain yang mendampingi ibu saat bersalin banyak memberi dampak positif bagi ibu khususnya dalam mengurangi kecemasan dan ibu akan menjadi lebih nyaman sehingga mendukung kelancaran proses persalinan. Ketenangan yang seharusnya didapatkan ibu selama persalinan tidak tercapai, semua ini dapat diatasi dengan menanamkan kepercayaan pada diri ibu dan kepada petugas kesehatan baik dokter maupun bidan agar memberi perawatan selama kehamilan dan memberi perhatian kepada ibu dengan penuh kesabaran. Pengaruh kondisi psikologi ibu terhadap kandungannya Kondisi psikologi ibu dapat mempengaruhi embrio dalam kandungannya. Bila kondisi ibu dalam ketakutan dan gelisah, janin akan terpengaruh dan besar kemungkinan kelak tumbuh menjadi anak yang minder. Sementara itu, kecenderungan cemburu dan watak dengki ibu juga akan mengimbas pada anak. Sebaliknya bila sang ibu memiliki watak baik, berperikemanusiaan, jujur, berani, dan penuh kasih sayang, maka itu juga akan berpengaruh pada anaknya. Pada dasarnya anak dalam kandungan merupakan bagian dari diri sang ibu. Oleh karena itu, ia akan terpengaruh olehpikiran dan kondisi psikologis ibunya. Namun beberapa pakar genetika dan psikologi anak menolak teori ini. Mereka merasa bahwa pikiran dan kondisi psikologis ibu tak akan mempengaruhi pikiran anak secara permanen. Dr. Jalali menulis : “Tak ada hubungan langsung antara ibu dan janin, selain tali pusar yang tak memiliki rasa ( indra), dantali pusar yang tertutup itu memiliki urat syaraf yang membawa darah.” Ini pendapat awal yang menyatakan bahwa kondisi kejiwaan ibu yang berpengaruh pada pikiran anak boleh jadi tidak benar. Namun, tidak benar bila dikatakan bahwa pikiran ibu sama sekali tak berpengaruh langsung pada anak.Pandangan ini dapat terilustrasikan pada argumen-argumen berikut : 1. Pikiran dan jiwa manusia saling berhubungan satu sama lain. Kondisi sakit atau sehat, kekuatan syaraf dan daya tahan fisik atau kelemahan, dan bahkan munculnya atau kurangnya nafsu makan akan berpengaruh pada pikiran dan kepribadian seseorang. Kepribadian individu dan wataknya akan berpengaruh pada perkembangan otaknya. Karenanya, bisa saja kekurangan pada makanan atau tiadanya makanan akan meningkatkan kegelisahan dan pikiran buruk dalam otak. 2. Embrio memerlukan makanan, yang masuk dan menjangkaunya dalam rahim ibu. Selama janin berada dalam rahim, ia bergantung pada ibunya untuk makan. Oleh karena itu, kebiasaan makan ibu berpengaruh langsung pada perkembangan fisik dan mental anak. “Apa yang bermanfaat bagi ibu, pasti juga akan bermanfaat bagi janin. Bila makanan ibu kekurangan kalsium, maka hal itu akan berpengaruh pada perkembangan tulang dan gigi anak.” 3. Sebagaimana diketahui, gangguan dan kegelisahan berlebihan pada seorang anak menyebabkan ketidaksanggupan dalam mencerna, sebelit, dan mempengaruhi tubuhnya. Sedangkan kesedihan atau ketakutan berlebihan akan menurunkan nafsu makan seseorang dan sistem pencernaannya akan terganggu. Kelenjar pencernaan juga tidak akan berfungsi normal. Dari ketiga keterangan di atas dapat dikatakan bahwa meskipun kondisi pikiran dan batin tidak secara langsung berpindah ke otak dan syaraf anak, namun kondisi itu dapat memengaruhi fungsi pencernaan ibu yang akhirnya berpengaruh pada pembentukan fisik dan batin anak. Perasaan ibu yang sedang marah atau gelisah akan mempengaruhi karakternya secara umum dan mengganggu sistem pencrnaannya. Kondisi ini akan merusak tubuh sang ibu termasuk pula janinnya. Mungkin saja anak dalam kandungan ibu semacam itu akan terjangkit penyakit tersebut, yang akan muncul sendirinya pada tahap berikutnya. “Kegelisahan berlebihan yang dialami ibu hamil dan kejadian tak menyenangkan di lingkungannya akan berbahaya bagi perkembangan dan watak anak. Kondisi-kondisi semacam itu akan menciptakan masalah dan menumbuhkan kelenjar-kelenjar yag tak diinginkan. Akibat lainnya, sistem pencernaan tak mampu befungsi normal. Mungkin inilah alasan mengapa beberapa anak mengidap kegelisahan. Kondisi ini boleh jadi pula menjadi penyebab keguguran.” Wanita hamil yang merasa nyaman secara fisik dan mental akan memperoleh janin yang sehat. Lingkungam damai seperti itu tentulah ideal bagi perkembangan sempurna anak dalam rahim ibu. Sebaliknya, janin dari seorang ibu yang penakut, mudah tersinggung, dan bermental buruk tidak akan terasuh dengan baik dan dapat terjangkiti penyakit pada pikiran dan tubuhnya. “Para pakar psikologi telah membuktikan bahwea 26 persen dari penyakit psikologis anak merupakan warisan dari kondisi ibu mereka. Oleh karena itu, bila ibu dalam kondisi sehat walafiat, maka anaknya pun memiliki kondisi fisik yang baik. Bila seorang ibu peduli terhadap kesehatan anaknya, maka herndaknya ia memperhatikan kondisi fisik dan mentalnya sendiri selama masa kehamilan.   KESIMPULAN Pada masa prenatal, janin didalam kandungan juga membutuhkan suatu pendidikan. Pendidikan yang dimaksud berupa musik. Dalam penelitian ditemukan bahwa pada masa jabang bayi mendengarkan musik bisa memperluas volume otak besar, memajukan syaraf perasa janin, menambah kegiatan utama urat syaraf dan membantu daya berimajinasi abstrak dari pertumbuhan normal anak. Persalinan merupakan masa yang cukup berat bagi ibu, dimana proses melahirkan layaknya sebuah pertaruhan hidup dan mati seorang ibu, terutama pada ibu primipara, dimana mereka belum memiliki pengalaman melahirkan. Rasa cemas, panik, dan takut yang melanda ibu dengan semua ketidakpastian serta rasa sakit yang luar biasa yang dirasakan ibu dapat mengganggu proses persalinan dan mengakibatkan lamanya proses persalinan. Rasa cemas dapat timbul akibat kekhawatiran akan proses kelahiran yang aman untuk dirinya dan bayinya.Selama persalinan teruama bagi ibu yang melahirkan sendiri tanpa pendamping, ibu cenderung merasa takut dan cemas. Kecemasan dapat terjadi pada ibu dengan pengetahuan yang rendah tentang proses persalinan, hal‐hal yang akan dan harus dialami oleh ibu sebagai dampak dari kemajuan persalinan. Wanita hamil yang merasa nyaman secara fisik dan mental akan memperoleh janin yang sehat. Lingkungam damai seperti itu tentulah ideal bagi perkembangan sempurna anak dalam rahim ibu. Sebaliknya, janin dari seorang ibu yang penakut, mudah tersinggung, dan bermental buruk tidak akan terasuh dengan baik dan dapat terjangkiti penyakit pada pikiran dan tubuhnya. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Mochamad dkk. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Hastuti. 2010. Panduan Ibu Hamil Melahirkan dan peralatan Bayi. Jakarta : Ouba Press Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sunarto dan Hartono B.Agung.2006. Perkembangan Peserta didik.Jakarta: Rineka Cipta Whalley, Janet dkk. 2008. Kehamilan dan Persalinan. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer Yulianti, Lia dan Maemunah. 2009. Asuhan Kebidanan Persalinan. Jakarta : Trans Info Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar